Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Nugroho Setiawan, Satu-satunya Ahli Keamanan Lisensi FIFA di Indonesia yang Tak Dipakai PSSI Analisis Tragedi Kanjuruhan

Hery Prasetyo - Senin, 03 Oktober 2022 | 18:40

GRIDVIDEO - Indonesia memiliki satu-satunya ahli keamanan atau Security Officer lisensi FIFA, namun tak dipakai PSSI. Ia pun mencurigai faktor-faktor ini yang menyebabkan terjadinya Tragedi kanjuruhan.

nugroho Setiawan kini merupakan Security Officer di Asian Football Confederation (AFC).

Sebelumnya ia menjabat sebagai Head of Inftastructure, Safety and Security di PSSI.

Namun, entah kenapa, pada tahun 2020 dia tersingkir dan PSSI pun tak memiliki ahli security sepak bola lagi.

"Ada situasi politik organisasi di mana saya harus menyingkir," kata Nugroho Setiawan dalam wawancara dengan Hellena Souisa dari ABC News.

BACA JUGA:Tragedi Kanjuruhan, Runtuhnya Pembangunan Sepak Bola Indonesia

Ketika terjadi Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan setidaknya 125 orang, nama Nugroho Setiawan 0pun menjadi viral.

Tragedi itu terjadi setelah Arema FC dikalahkan Persebaya Surabaya 2-3 dalam lanjutan Liga 1 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Sabtu (1/10/2022).

Suporter Aremania yang kecewa turun ke lapangan dan terjadilah kerusuhan.

Pihak keamanan merespons dengan menyemprotkan gas air mata, hingga terjadi kepanikan dan kekacauan.

Para suporter berlari menjauh, berdesak-desakan, saling injak dan banyak yang kehabisan oksigen hingga terjadi 455 korban dan 125 di antaranya meninggal dunia.

BACA JUGA:Imbas Tragedi Kanjuruhan, Shin Tae-yong Pun Ikut Terancam, Keanggotaan Indonesia di FIFA Bisa Dicabut

Penggunaan gas air mata jelas tak diperbolehkan oleh FIFA.

Tapi, kenapa tetap dipakai? Apakah PSSI tidak mengerti prosedur pengamanan sepak bola sesuai regulasi FIFA?

Maka, tak heran kemudian tersingkirnya Nugroho Setiawan mulai diperbincangkan.

Dalam wawancara dengan ABC News, Nugroho Setiawan mengaku sangat menyesal atas terjadinya Tragedi Kanjuruhan.

"Saya menyesali sekali hal tersebut terjadi, karena sebenarnya semua itu bisa dikalkulasi dan diprediksi, kemudian dimitigasi," kata Nugroho Setiawan.

BACA JUGA:Video Viral Detik-detik Tragedi Stadion Kanjuruhan Sebelum Gas Air Mata Ditembakkan!

"Ada satu mekanisme yang secara umum di manajemen adalah risk management untuk membuat suatu mitigation plan," lanjutnya.

Tentang apa yang seharusnya diantisipasi dan dikalkukasi, menurut Nugroho Setiawan setidaknya ada tiga hal.

"Saya bicara ini secara normatif, karena saya tidak ada di lokasi saat itu. Faktor penyebab itu bisa banyak hal," katanya.

"Yang pertama ada tiga poin dalam penyelenggaraan pertandingan. Poin kesatu adalah kesamaan persepsi pengamanan di antara semua stakeholder. Yang kedua adalah kondisi infrastruktur. Ini harus dilakukan assesment. Yang ketiga adalah supporter behavour itu sendiri yang harus kita engineering," jelasnya.

Ketiga aspek ini, katanya, harus tersinkronisasi.

BACA JUGA:Tragedi Kanjuruhan: Keluar Sendirian, Ayah Ibunya Tak Selamat, Alfiansyah Jadi Yatim Piatu

"Ketika kita melakukan penilaian risiko atau risk assesment, kita akan menghasilkan sebuah rencana pengamanan yang disetujui bersama. Jadi suatu agreed behaviour and procedure," jelasnya.

Lalu, Nugroho mencurigai tidak adanya sinkronisasi itu.

"Nah, sinkronisasi ini mungkin yang tidak terjadi," katanya.

"Mungkin ketika risk assesment dilakukan, kesimpulannya menjadi keputusan yang tidak populer, misalnya pertandingan dilakukan di siang hari, dengan pembatasan jumlah penonoton dan lain-lain. Pasti tidak populer dan tidak memenuhi aspek revenue (pendapatan)," ujar Nugroho Setiawan.

"Yang itu tadi, kesamaan persepsi. Sampai hari ini belum tercapai. Ini merpakan suatu pekerjaan rumah untuk kita bersama," terangnya.

Soal perilaku suporter, menurut Nugroho Setiawan di FIFA sekarang ada safety (keamanan), security (pengamanan), dan juga service (pelayanan), karena sepak bola dilihat sebagai industri.

BACA JUGA:Indonesia Bisa Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 2023, Buntut Tragedi Kanjuruhan

"Istilah suporter juga sudah hampir ditiadakan. Yang ada adalah fans, penggemar, atau kalau ekstrem namanya altruist dan macam-macam," kata Nugroho Setiawan.

Sebenarnya, lanjutnya, masalahnya itu-itu saja. Sayangnya, usaha perbaikan ke arah itu sering terlupakan karena sibuk untuk menggelar pertandingan dan kompetisinya, mengejar klasemen, dan mengejar revenue (pendapatan).

"Kita tidak bisa langsung menyalahkan aparatnya karena peraturan FIFA ini kan dibuat senetral mungkin, segenerik mungkin untuk mengakomodasi seluruh kepentingan anggota asosiasi," jelas Nugroho Setiawan.

"Nah, kita bicara kewenangan public authority, dalam hal ini kepolisian yang punya landasan hukum sendiri," katanya.

"Sementara FIFA juga punya batasan. Ini harus dikomunikasikan. Mungkin komunikasi ini, kesamaan persepsi yang saya sampaikan tadi belum tercapai dengan baik," duganya.

Nugroho Setiawan kemudian memperjelasnya, bahwa stakeholder pengamanan yang utama dalam hal ini adalah kepolisian negara.

Kemudian ada kepentingan dari industri sepak bola dan ini harus disamakan terlebih dulu.

"Pendekatan polisi mungkin adalah criminal justice, sementara kalau di industri sepak bola adalah loss prevention. Ini kan enggak ketemu nih. Jadi, ini harus dipertemukan. Pasti ada titik pertemuannya itu dan kesepakatannya harus dibuat," ujar Nugroho Setiawan.

Nugroho menjelaskan, pengamanan di kota-kota besar seperti Jakarta mungkin persepsinya sudah mendekati kesamaan.

Tapi, mungkin tidak ideal kala derby Jawa Timur (Arema Vs Persebaya) diselenggarakan di Jakarta.

"Padahal kesiapan otoritas publiknya mungkin sudah lebih siap, karena sudah terbiasa menghadapi event-event besar. Atau, mungkin kita lakukan di Bali. Ini memang susuatu yang tidak populer. Tapi, kalau kita bisa duduk melakukan cost-benefit analysis, semuanya mungkin bisa kita akomodasi," katanya.

Nugroho Setiawan berpendapat, sebaiknya penghentian pertandingan digunakan semua pihak untuk duduk bersama merumuskan langkah-langkah perbaikan.

Ia kemudian mencontohkan tragedi Stadion heysel dan Hillsborough.

Waktu itu, Perdana Menteri Margareth Thatcher menghentikan sepak bola di Inggris selama 5 tahun.

"Selama itu pemerintah dan semua stakeholder duduk bersama menyusun sebuah undang-undang tentang suporter, bagaimana kenyamanan dan keselamatannya dipatuhi semua pihak," ujarnya.

Editor : Video

Baca Lainnya

Latest