Tim penggali kemudian meminta Dr Vlok dari Universitas Sydney untuk memeriksa tulang belulang tersebut.
"Dengan temuan seperti ini," katanya, "ada campuran antara senang dan sedih, karena hal ini terjadi pada seseorang. "Orang ini--seorang anak kecil--mengalami penderitaan luar biasa, bahkan jika itu terjadi 31.000 tahun lalu."
Dr Maloney menjelaskan bahwa lantaran hasil pemeriksaan menunjukkan tanda-tanda individu tersebut telah dirawat sampai pulih dan selama sisa hidupnya, para arkeolog meyakini bahwa ini adalah tindakan operasi amputasi, bukan hukuman atau ritual apa pun.
"Supaya mereka bisa tetap tinggal di daerah pegunungan ini, sangat mungkin komunitas mereka melakukan perawatan," jelasnya.
Arkeolog dari Universitas Durham, Prof Charlotte Robertson yang tidak terlibat dalam temuan ini tapi turut menyelisik laporan mereka, menilai penemuan ini telah mematahkan pandangan bahwa ilmu pengobatan dan pembedahan hanya baru-baru ini saja ditemukan dalam sejarah manusia.
"Ini menunjukkan kepada kita bahwa merawat orang lain merupakan bagian dari manusia," katanya kepada BBC.
"Kita tidak bisa meremehkan nenek moyang kita."
Amputasi, menurutnya, memerlukan pengetahuan komprehensif tentang anatomi manusia, kebersihan pembedahan, serta keterampilan teknis.
"Pada masa sekarang, dalam konteks keilmuan Barat, Anda berpikir amputasi merupakan operasi yang sangat aman. Seseorang diberikan suntikan penghilang rasa sakit, prosedur steril dijalankan, pendarahan terkontrol, dan pengelolaan rasa sakit."
"Lalu, Anda punya bukti ini, 31.000 tahun yang lalu, seseorang melakukan amputasi, dan itu berhasil."
Dr Maloney dan rekan-rekannya sekarang sedang menyelidiki jenis batu yang digunakan sebagai alat amputasi saat itu.