Britania Raya Terancam Disintegrasi Setelah Pangeran Charles Jadi Raja Inggris

Selasa, 13 September 2022 | 19:11

GRIDVIDEO - Britania Raya yang terdiri dari banyak negara kini terancam disitegrasi, setelah Pangeran Charles menjadi Raja Inggris, Kamis (8/9/2022.

Setelah Ratu Elizabeth II meninggal Dunia, Pangeran Charles memang langsung menjadi Raja Inggris, dengan gelar Raja Charles III.

Isu disintegrasi itu muncul dari negara kecil kolonia Inggris di Kepulauan Karibia, yakni Antigua dan Barbuda.

BACA JUGA: Pria Ini Umrah Atas Nama Ratu Elizabeth II, yang Terjadi Justru Masuk Penjara

Negara yang menjadi koloni Inggris sejak 1667 itu memang dulu menjadi tempat pembuangan budak Katolok dari Irlandia.

Antigua dan Barbuda mendapat kemerdekaan dari Inggris pada 1981, namun tetap bagian dari Negara Persemakmuran Britania Raya.

Sementara di Irlandia sendiri hingga kini dikenal memiliki kelompok yang anti Inggris dan menginginkan kemerdekaan atau lepas dari Britania Raya.

BACA JUGA: Transaksi Judi Online Rp 155 Triliun Libatkan Oknum Polisi dan PNS, Termasuk Ferdy Sambo?

Antigua dan barbuda bahkan berencana akan menggelar referendum untuk menentukan apakah rakyat menghendaki tetap berada dalam kesatuan Britania Raya atau memilih merdeka.

Perdana Menteri Antigua dan barbuda, Gaston Browne melemparkan rencana referendum itu tak lama setelah Raja Charles III diproklamasikan sebagai pemimpin baru monarki Inggris.

"Masalah ini harus dibawa ke referendum, mungkin dalam tiga tahun ke depan," kata Gaston Browne kepada ITV News, Senin (12/9/2022).

BACA JUGA: Siapa yang Melakukan Pelecehan Seksual kepada Putri Candrawathi? Ternyata Justru Kuat Ma'ruf yang Panik dan Brigadir J Tenang-tenang Saja

Gaston Browne menegaskan, negara republik menjadi langkah terakhir untuk menyempurnakan Antigua dan Barbuda sebagai bangsa yang berdaulat.

"Referendum) bukan tindakan permusuhan," tegas Browne.

Jika mayoritas rakyat Antigua dan Barbuda menghendaki merdeka, maka Charles III tak diakui lagi sebagai raja negara itu.

SIKAP AUSTRALIA

Australia yang juga anggota Negara Persemakmuran Britania Raya memiliki sikap tersendiri.

Partai Buruh Australia sempat melemparkan wacana agar Australia memiliki seorang presiden Australia.

Wafatnya Ratu Elizabeth II, pekan lalu, setelah memerintah selama 70 tahun, dipandang sebagian orang sebagai peluang ideal untuk menuju perubahan.

Pada 1999, Australia sempat membuat referendum, namun mayoritas rakyat tidak menghendaki bentuk negara republik maupun putus dari Inggris.

Meski begitu, anggota parlemen Australia sebagian menegaskan bahwa Australia akan tetap setia kepada Raja Charles III.

Pendapat berbeda disampaikan Profesor Hukum di Universitas Adelaide, Greg Taylor.

BACA JUGA: Bharada Sadam, Sopir Ferdy Sambo yang Intimidasi Wartawan Itu Dihukum Polri

Ia mengatakan, potensi negara bagian Australia menolak mengakhiri hubungan dari Raja Inggris tidak seharusnya jadi alasan buat negara itu untuk mengadakan referendum kedua untuk menuju negara republik.

Profesor Taylor mengatakan, kekaisaran Jerman dari tahun 1871 sampai 1918 menjadi contoh koalisi monarki dan republik.

"Jadi, hal seperti itu mungkin," kata Prof Taylor.

Raja Inggris di Australia diwakili oleh seorang Gubernur Jenderal yang ditunjuk oleh raja atas saran perdana menteri.

Di setiap negara bagian di Australia, Raja Inggris diwakili oleh seorang gubernur negara bagian yang ditunjuk atas saran perdana menteri negara bagian.

Editor : Hery Prasetyo

Baca Lainnya