GRIDVIDEO.ID - Jakarta menjadi ibukota Negara Republik Indonesia memang memiliki sejarah panjang, termasuk soal julukan sebagai Kota Tahi.
Bahkan disebut-sebut julukan Kota Tahi itu menjadi awal penamaan penduduk Jakarta yang kini lebih dikenal sebagai orang Betawi.
Lalu benarkan Betawi berasal dari julukan Kota Tahi yang disematkan untuk Batavia di masa lalu?
Mengutip dari National Geographic Indonesia (NGI), sejumlah rujukan tulisan sejarah ini bisa menjadi bukti kuat.
Kejadian tersebut bermula dari perang yang terjadi antara Batavia melawan Kerajaan Mataram Islam di bawah kekuasaan Sultan Agung.
Martin Pring yang mengutip dari surat Sultan Aung pada Maret 1619 mengungkap tujuan sang Raja Mataram Islam kala itu memiliki tujuan menghancurkan Batavia.
"Jacatra mempunyai duri di kakinya,"
"harus berusaha keras untuk mencabutnya, agar seluruh tubuhnya tidak terancam. Duri ini adalah benteng orang Belanda..."
Baca Juga: Lama Menjadi Buron, Mardani Maming Akhirnya Resmi Ditahan KPK
"begitu membentengi diri mereka sehingga mereka tidak menghormati raja maupun tanahnya, bahkan malah menantangnya."
Meski Martin Pring (1580-1626) bukanlah orang Belanda, ia seorang penjelajah lautan asal Inggris yang bekerja sebagai pucuk komando Angkatan Laut untuk VOC.
Ia mengabdi kepada kompeni selama 1613-1623, sebelum akhirnya berbakti sebagai perwira kapal perang untuk negeri asalnya.
Namun belum diketahui apakah benar Pring berjumpa secara langsung dengan Sultan Agung atau tidak.
Baca Juga: Akhirnya, Sosok yang Ancam Brigadir J Hingga Memangis Pada Pacarnya Terbongkar, Ini Sosoknya!
Tak hanya bukti itu saja, dalam laporan yang ditulis oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen ke Dewan Hindia (3/11/1628) ia menerangkan hal yang cukup jelas.
"Pada malam hari tanggal 21 September, musuh berusaha mendekati Fort Hollandia dengan kekuatan besar,"
"Mereka membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Mereka dilindungi oleh beberapa orang, yang terus menembaki kubu dengan memakai bedil laras panjang."
"Akan tetapi," tulis Coen,
Baca Juga: Akhirnya, Sosok yang Ancam Brigadir J Hingga Memangis Pada Pacarnya Terbongkar, Ini Sosoknya!
"sebanyak 24 orang kami yang berada di kubu itu memberikan perlawanan yang gigih, sehingga sepanjang malam itu semua musuh berhasil dipukul mundur sampai semua mesiu habis."
Litografi koleksi Nationaal Archief Nederlande, yang diduga dibuat paska tahun 1780 juga melukiskan serangan Mataram Islam ke Batavia dengan judul "Mislukte belegering op Batavia door de sultan van Mataram in 1628"—Serangan di Batavia oleh Sultan Mataram tahun 1628.
Diketahui dalam serangan tersebut Mataram setidaknya melakukannya sebanya dua kali, yakni 1628 dan 1629, sedangkan pemimpinnya tak lain adalah Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja.
Johan Neuhof (1618-1672), seorang Jerman, telah menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC.
Baca Juga: Saat Presiden Jokowi Jongkok, Seorang Lelaki Bawa Batu - Fakta atau Hoaks?
Buku itu dia beri judul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham, terbit pada 1669.
Neuhof berkisah ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoute Hollandia—sebuah bastion dengan bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara—di Batavia pada 1628.
Petrus Johannes Blok dan Philip Christiaan Molhuysen meriwayatkan sosok Madelijn dan takdir kubu Hollandia dalam Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, yang terbit pada 1911 mengisahkan seorang pemuda yang menggunakan tahi untuk menyerang prajurit Mataram.
Madelijn, pemuda asal Jerman yang juga merupakan prajurit Batavia mempunyai ide menyerang pasukan Mataram dengan peluru tahi yang akhirnya berhasil memukul mundur lawan.
Baca Juga: Bukan Hanya Bharada E, Ini Sosok 6 Ajudan Irjen Ferdy Sambo yang Terseret Kasus Kematian Brigadir J!
Bahkan gegara hal tersebut, prajurit Mataram menjuluki benteng Batavia (Redoute Hollandia) itu sebagai Kota Tahi.
Dalam salah satu Babad Tanah Jawi, seorang sejarawan Belanda, W.L. Olthof juga menerjemakan terkait asal usul julukan kota Tahi.
“Orang Belanda bubuk mesiunya semakin menipis. Kotoran orang atau tinja dibuat obat mimis. Orang Jawa banyak yang muntah-muntah, sebab kena tinja...”
“Adapun Pangeran Mandurareja masih tetap mempertahankan perangnya, tetapi tetap tidak dapat mendekati benteng, karena tidak tahan bau tinja. Pakaian mereka berlumuran tinja. Para adipati pesisir bala-prajuritnya banyak yang tewas. Sedang yang hidup tidak tahan mencium bau tinja. Sepulang berperang lalu merendamkan diri di sungai.”
Thomas Stamford Raffles pun juga pernah menuliskan mengenai sejarah julukan kota Tahi tersebut.
Dalam buku History of Java Volume II halaman 168, terbit di London pada 1817.
"...Pada waktu itu, karena orang-orang Belanda dapat dipukul oleh keganasan orang-orang Jawa, mereka terpaksa menggunakan batu-batuan sebagai ganti bola-bola besi untuk amunisi meriam. Namun usaha tersebut menemui kegagalan," tulis Raffles.
"Sebagai usaha terakhir, mereka melemparkan kantong-kantong berisi kotoran yang berbau busuk sekali ke arah orang-orang Jawa, dan sejak saat itulah benteng itu dijuluki dengan nama Kota tai."
Sementara itu, Sudibjo Z.H dalam Babad Betawi, Petikan dari Babad Diponegoro terbitan tahun 1969 menuliskan bahwa dalam pengasingan Pangeran Mataram itu juga menulis kisah yang hampir serupa soal Kota Tahi.
"Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian Ki Mandura terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja."
"Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening." (*)
Baca Juga: Inilah Rekaman CCTV Seputar Ferdy Sambo dan Istrinya Sebelum Kematian Brigadir J