Masih Ingat Lumpur Lapindo? Kini Tempat Itu Disebut-sebut Penghasil Hal Mengerikan Terbesar di Bumi, Apa Itu?

Sabtu, 20 Agustus 2022 | 17:57

GRIDVIDEO.ID - Salah satu bencana yang cukup menggemparkan di Indonesia bahkan membuat dunia internasional terkejut adalah munculnya lumpur Lapindo.

Namun usai bertahun-tahun tak terdengar kabarnya, bagaimana keadaan lumpur Lapindo sekarang?

Melansir dari National Geographic Indonesia, hal mengejutkan justru ditemukan pada Lumpur Lapindo belum lama ini.

Diketahui usai diadakannya studi terbaru di lokasi bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, ditemukan hal yang mengejutkan.

Baca Juga: Dari Tanah Longsor Aneh Hingga Bayi Lahir Dengan 3 Hati, Kota Ini Disebut Terkutuk Hingga Tak Ada yang Berani Menyebut Namanya!

Ternyata jumlah emisi gas metana dari semburan Lumpur Sidoarjo atau Lumpur Lapindo merupakan yang terbesar yang dihasilkan dari sebuah manifestasi gas alam di bumi.

Laporan studi tersebut telah diterbitkan di jurnal Scientific Reports pada 18 Februari 2021.

Sebagai informasi, Lumpur Sidoarjo (Lusi) atau Lumpur Lapindo (Lula) adalah sebutan untuk manifestasi gas yang muncul sejak tahun 2006.

Lokasi kejadian bencana alam tersebut berada di bekas pengeboran minyak PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Pulau Jawa, Indonesia.

Baca Juga: Bukan Soal Pemerintahan, Ternyata Ini Perintah Pertama Bung Karno Usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Berkaitan Dengan Makanan!

Meski telah ditanggulangi, namun kini Lusi merupakan letusan klastik aktif terbesar di dunia.

Sejak kemuncuculannya, Lusi tak henti-hentinya menyemburkan air, minyak, gas, dan lumpur, dengan laju aliran puncak hingga 180.000 meter kubik per hari.

Gumpalan uapnya naik setinggi beberapa puluh meter.

Selama bertahun-tahun semburan lumpur ini telah melanda dan menutupi beberapa desa yang meluas hingga lebih dari 90 hektare.

Baca Juga: Skutik Listrik Unik Bersuara Knalpot Racing Benelli Dong, Segini Harganya Sekarang

Sebuah studi kolaboratif internasional yang dipimpin oleh Adriano Mazzini, peneliti dari Centre for Earth Evolution and Dynamics (CEED) di University of Oslo, dalam kerangka hibah ERC LUSI LAB telah memantau dan menganalisis Lusi selama beberapa tahun.

Dikutip dari laman resmi University of Oslo, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fenomena geologi ini dipicu oleh tekanan fluida yang tinggi pada batuan sedimen dan suhu tinggi akibat interaksi dengan gunung api magmatik di sekitarnya.

Oleh karena itu, Lusi dianggap sebagai manifestasi permukaan dari sistem sedimen/hidrotermal hibrida.

Gas yang keluar dari Luasi ini kaya akan karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Metana adalah gas rumah kaca yang 18 kali lebih kuat dari karbondioksida.

Baca Juga: Tradisi Kanibalisme Unik di Eropa - Mumi Dimakan dan Diracik, Raja Ikut Mengonsumsinya

Gas-gas ini keluar pusat kawah Lusi dan menyebar hingga seluas 7,5 kilometer persegi.

Tim peneliti menggabungkan teknik pengukuran berbasis darat dan satelit (TROPOMI) untuk mengukur jumlah gas yang dilepaskan ke atmosfer oleh Lusi.

Kedua teknik tersebut menunjukkan total keluaran metana sekitar 100.000 ton per tahun.

Ini adalah emisi metana tertinggi yang pernah tercatat secara eksperimental untuk satu manifestasi gas alam.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa estimasi terbaru dari emisi metana geologi global per tahun, berdasarkan radiokarbon di inti es era pra-industri (berkisar antara 100.000 hingga 5.400.000 ton CH4 per tahun), mungkin terlalu kecil (underestimated).

Baca Juga: 10 Fakta Orang Kidal: Bukan Hanya Faktor Genetik hingga Umur Lebih Pendek

Sebab, jumlah metana yang dilepaskan oleh Lusi saja, sudah sesuai jumlah minimum dari esgtimasi studi berbasis inti es untuk seluruh Bumi ini.

Emisi dari Lusi dianggap konsisten secara proporsional dengan tingkat fluks metana (yang disebut "faktor emisi") yang biasanya dilepaskan oleh manifestasi gas alam terestrial lain yang serupa (misalnya, gunung lumpur, sistem rembesan metana besar).

Jika semua lokasi semacam ini ini digabungkan secara global, estimasi global secara keseluruhan akan menghasilkan total output sekitar 40-50 juta gas metana ton per tahun.

Mengetahui jumlah sebenarnya dan aliran pelepasan metana dari sumber geologi semacam ini penting untuk menilai emisi gas antropogenik dengan lebih baik, seperti dari industri minyak, dan emisi metana di atmosfer secara umum.

Studi baru ini juga menunjukkan bahwa pengukuran emisi gas dengan bantuan satelit seperti ini dapat menjadi cara utama untuk mendukung studi perhitungan gas metana di darat dan meningkatkan cara estimasi jumlah geo-metana secara global.

(*)

Lutfi Fauziah

Area yang terkena dampak lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, terlihat dari udara, Kami

Baca Juga: Kejadian Unik Dan Kocak MotoGP Mandalika 2022 Yang Tidak Terlupakan

Editor : Andreas Chris Febrianto Nugroho

Baca Lainnya