GRIDVIDEO - Akar konflik antara Indonesia dan Australia tentang Pulau Pasir berawal dari tahun 1974.
Indonesia telanjur memberi kepercayaan kepada Australia untuk mengurus konservasi, sementara Australia terlalu percaya diri kemudian mengklaim Pulau Pasir sebagai miliknya.
Konflik ini terus memanas akhir-akhir ini, hingga muncul kekhawatiran akan adanya perang antara Indonesia dan Australia.
Sebab, Australia semakin keras menjaga Pulau Pasir, bahkan terus mengusir nelayan Indonesia.
BACA JUGA: Militer Indonesia Kalahkan Militer Australia, Jerman Pun Lewat
Padahal, sejak lama Pulau Pasir sudah menjadi tempat transit orang-orang Indonesia, terutama dari Pulau Rote.
Di Pulau Pasir pula banyak makam leluhur orang Nusa Tenggara Timur.
Adu Klaim
Pulau Pasir berada 320 kilimeter dari barat laut Australia.
Sedangkan dari pulau terdekat Indonesia, Pulau Rote, jarak Pulau Pasir hanya 140 kilometer.
Berdasarkan sejarah pra-kolonial, jajaran Pulau Pasir yang sekarang disebut Australia sebagai Ashmore Reef, merupakan bagian integral dari Indonesia.
Namun, pada 1974, dilakukan nota kesepakatan (MoU) antara Indonesia dan Australia.
BACA JUGA: Peristiwa Militer: Iran Akan Serang Tuan Rumah Piala Dunia 2022?
Dalam MoU itu, pemerintah Indonesia meminta bantuan Australia untuk memonitor Pulau Pasir demi konservasi.
Sejak itu, secara sepihak Australia mengklaim bahwa Pulau Pasir adalah miliknya.
Pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana Kupang, TW Tadeus menilai, ada kesalahan pemerintah Indonesia ketika menandatangani MoU pada 1974.
"Secara tidak langsung, Indonesia juga menyerahkan Pulau Pasir kepada Australia. Ini yang menjadi masalah sampai hari ini," kata TW Tadeus kepada kantor berita Antara.
Namun, berdasarkan adat dan tradisi masyarakat setempat, maka orang NTT seharusnya tetap dibolehkan masuk ke perairan sekitar Pulau Pasir.
Sesuai data kepolisian NTT, dari 2004 sampai 2006, sekitar 3000 nelayan NTT ditahan oleh AUstralia ketika memasuki perairan Pulau Pasir.
Sumber Minyak dan Gas
Insiden terakhir terjadi pada 2021 ketika beberapa nelayan ditahan dan perahu-perahu mereka ditenggelamkan oleh tentara perbatasan Australia.
Aksi in membuat Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin geram.
Sebagai protes, ia menghentikan patroli bersama tentara perbatasan Australia.
Sebab, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sakti Wahyu Trenggono menekankan pentingnya peran negara mengontrol kapal-kapal nelayan sebagai upaya mempertahankan kelangsungan sumber daya laut dan ikan.
Pulau Pasir dan sekitarnya ditaksir memiliki banyak kandungan minyak dan gas alam dan eksplorasi gas serta minyak sudah dilakukan di sana.
BACA JUGA: Peristiwa Militer: Australia Tiba-tiba Singgung Soal Senjata Perang Indonesia
Yayasan Peduli Timor Barat bersama Australian Jubilee Research Center pada September 2022 mendesak pemerintah Australia untuk segera menghentikan pengeboran gas dan minyak di perairan Pulau Pasir.
Mereka mengkhawatirkan akan terjadi kerusakan seperti insiden yang terjadi pada 2009, ketika kilang minyak Montara meledak dan menghancurkan ratusan hektar rumput laut nelayan.
Beberapa area, termasuk di Laut Timor dan daerah perairan Pulau Pasir, diketahui memiliki kandungan minyak dan gas alam sekitar lima juta barel.
Australia benar-benar memanfaatkan kesepakatan tahun 1974 dengan agresif.
Begitu kesepakatan itu dilakukan, Australia langsung melakukan kerja sama dengan kontraktor gas dan minyak Australia, Woodside, untuk meneliti kandungan minyak di daerah itu dan menemukan potensi tersebut.
Hak Indonesia
Pemegang hak adat rakyat asli Laut Timor yang termasuk jajaran Pulau Pasir, Ferdi Tanoni mendesak pemerintah Indonesia serius menangani isu perbatasan martim di Pulau Pasir.
Alasannya, Pulau Pasir mendukung perekonomian dan adanya fakta bahwa MoU 1974 tidak pernah diratifikasi oleh Indonesia dan Australia.
Jika bisa menguasai Pulau Pasir, maka Provinsi NTT memiliki kesempatan menaikkan pendapatan daerah dan pendapatan negara dengan jumlah besar.
Tanoni juga mempertanyakan alasan Pemerintah Indonesia yang begitu giat mengirim pasukan ketika terjadi konflik Ambalat, tapi tak terlalu bergairah ketika mensikapi kasus Pulau Pasir.
BACA JUGA: Peristiwa Militer: Iran Akan Serang Tuan Rumah Piala Dunia 2022?
Maka, Komisi I DPR RI dan pemerintah diharapkan segera melakukan tindakan diplomatik dan usaha legal untuk mengambil kembali hak atas Pulau Pasir yang sudah diambil Australia.
Australia harus mampu memberikan bukti kepemilikan Pulau Pasir jika masih mengklaim pulau itu.
Selain itu, klaim Australia bertentangan dengan Konvesi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Menurut konsensi itu, jika jarak dua negara kurang dari 400 mile, maka digunakanlah garis median.
Kenyataannya, jarak Australia, Timor Leste, dan Indonesia kurang dari 400 mile. Sehingga, Indonesia harusnya juga memiliki hak yang sama pada Laut Timor.
Maka, Indonesia juga bisa melakukan usaha itu dengan mengajukan gugatan di pengadilan internasional.