GRIDVIDEO - Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) bidang kepolisian Bambang Rukminto berasumsi jika Teddy Minahasa adalah korban perang di dalam Polri.
"Muncul asumsi bahwa kasus TM (Teddy Minahasa) ini hanya efek perang antarfaksi di internal," ujar Bambang.
Dia mengatakan, bukan hal yang mustahil jika ada persaingan antarfaksi di dalam internal Polri.
Bisa jadi, memang benar penangkapan Teddy Minahasa merupakan bagian dari persaingan tersebut.
Namun meski bisa disebut korban, Teddy juga salah jika terbukti terlibat dalam rantai peredaran narkoba.
"Persoalan persaingan antarfaksi itu jelas ada, tetapi kalau TM tidak melakukan pelanggaran, tentu tak mudah untuk dijegal bukan?" kata Bambang.
Bambang kemudian berpesan, agar setiap anggota Polri tidak melakukan pelanggaran supaya tidak mudah terjegal.
"Makanya agar tak dijegal, ya sebaiknya para calon pimpinan Polri jangan melakukan pelanggaran," ucap Bambang.
Dia juga menyoroti tentang penangkapan Teddy yang hanya berselang empat hari dari penunjukannya sebagai Kapolda Jawa Timur.
Bambang mempertanyakan tentang penentuan jabatan di sumber daya manusia (SDM) Polri.
Menurut Bambang pola pembinaan karier SDM di Polrimasih berantakan.
Dia menjelaskan, sistem di Polri jauh dari meritokrasi dan lebih mengutamakan kedekatan dengan petinggi atau kolusi juga nepotisme.
Polri seharusnya memiliki sistem yang uji kelayakan dan kepatutan ataufit and proper testyang baik dan jelas.
Sejauh ini, menurut Bambang, uji kelayakan dan patatutan untuk petinggi Polri masih menimbulkan banyak tanda tanya.
Fakta-fakta terkait kualitas dan integritas para pati (perwira tinggi) seperti FS (Ferdy Sambo) TM, dan banyak pamen-pamen (perwira menengah) yang bermasalah menunjukkan bahwa bagian SDM Polri hanya sekadar alat bagi-bagi jabatan yang tidak selektif, transparan, dan akuntabel," kata Bambang.