GRIDVIDEO.ID - Ternyata kanibalisme dan perilaku aneh mentradisi di Eropa. Sebagian masyarakat tak hanya makan dagind dan darah manusia yang baru mati, tapi juga memakan mumi.
Tradisi ini didorong oleh keyakinan bahwa makan daging atau darah orang yang sudah mati, atau makan mumi, bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Menurut Live Science, tradisi ini cukup kuat di Eropa terutama pada abad pertengahan hingga abad ke-19.
Di saat itu, perdagangan mumi dari Mesir ke Eropa cukup kencang, hingga mumi di Mesir sendiri semakin berkurang dan terancam langka.
Oleh orang Eropa, mumi itu dimasak menjadi semacam tablet atau obat dengan nama "Mumia".
Nah, Mumia itulah yang ramai diperjualbelikan untuk dikonsumsi demi mengobati penyakit pes, sakit kepala dan sebagainya.
Saking trendnya memakan mumi di saat itu, Mumia dijual bebas, terutama di apotek-apotek.
"Produk yang dibuat dari tubuh mumi bernama Mumia dikonsumsi selama berabad-abad oleh orang-orang kaya dan miskin. Obat ini tersedia di apotek-apotek, dibuat dari sisa-sisa mumi yang dibawa dari makam-makam Mesir ke Eropa," tulis Marcus Harmes, profesor di Pathways Education, Univeristy of Southern Queensland, dalam artikelnya di The Conversation.
Sehingga, praktik kanibalisme dengan mengonsumsi mumi semakin meluas.
Bahkan, dikabarkan, Raja Inggris, Charles II ketika mengalami kejang-kejang, mengonsumsi mumi.
Ia memakan racikan yang diambil dari tengkorak manusia menjadi Mumia.
Ternyata, praktik ini kemudian semakin ditiru banyak orang.
Obat dari tengkorak manusia masih digunakan di Eropa sampai 1909.
Bahkan, saat itu dokter bisa membuat resep obat dari mumi kepada pasien yang mengalami gangguan neurologis.
Obat dari mumi ini begitu populer karena juga dikonsumsi raja dan dokter mengklaim sebagai mumi dari Firaun.
Sehingga, saat itu racikan mumi menjadi obat yang sangat bergengsi.
Akibat praktik memakan mumi sebagai obat di Eropa itu, sempat terjadi masalah pasokan.
Mumi-mumi itu didatangkan dari Mesir.
Namun, karena mumi semakin langka, kemudian mulai muncul mumi palsu.
Karena mulai takut terhadap barang palsu, praktik kanibalisme demi pengobatan bergeser.
Yang dicari bukan lagi mumi, melainkan darah dan daging orang yang baru saja mati.
Saat itu juga muncul keyakinan, racikan darah dan daging manusia yang baru mati lebih berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.